6 Feb '18

"Gantung diri di Suramadu? Untuk apa jauh-jauh ke Suramadu hanya untuk mengucapkan selamat tinggal? Disini juga bisa kan? Tapi, bukan itu yang akan aku bahas. Melainkan kata "Gantung Diri" nya. Ya untuk apa? Masih merasa bahwa hidupmu ditindas? Jika iya, apa kau tidak melihat orang lain yang masih dan akan terus menindasku dan mempermalukanku? Ayo kawan, kita punya keinginan bersama."

"Kau ingat ketika aku bercerita padamu akan salah satu objek dan kau pun setuju dengan argumentasiku? Jika ingat, apa kau akan hanya mengingatnya saja atau mengimplementasikan ke kehidupan kita yang hina ini? Aku bahkan lebih hina darimu. Tak ada yang lebih hina selain aku. Camkan itu! Tapi ayolah, aku bahkan lupa berapa kali kau menasehatiku akan bahaya memendam dendam. Aku mungkin bukan orang yang tepat untuk diajak diskusi denganmu. Karena bahasanmu terlalu tinggi untukku yang hina ini."

"Tapi jika memang kau memutuskan untuk mengakhiri hidup, aku takkan peduli, kawan. Yang kubicarakan tadi adalah kejadian 14 bulan yang lalu. Sekarang, semua telah berbalik. Kau bangga akan jabatanmu sementara aku disini hanya memandang dengan tatapan miris. Iya miris. Mengapa? Kau tersinggung? Dengan kata "miris" saja kau sudah tersinggung? Lemah! Kau bahkan tak pernah menyadari bahwa subjek yang menindasku adalah kau! Iya, kau! Bahkan, bukan hanya aku yang merasa tingkahmu sudah kelewat batas. Yang kau bilang itu temanmu juga menganggap demikian denganku. Aku tak pernah menduga kau akan melakukan ini padaku."

"Kau pecundang! Kau hanya memanfaatkan momen depresiku untuk menaikkan pamormu! Kurang menyebalkan apa dirimu? Aku memang lebih hina darimu. Tapi, apa itu kurang hina menurutmu sehingga aku harus dibuat lebih hina dari ini? Mungkin yang kau harapkan adalah kau ingin aku lenyap dari dunia ini. Lenyap dari sekitar 7 milyar penduduk bumi. Aku bisa saja melakukan itu, tapi apa keuntungan untukku?"

"Tapi aku serius kawan, aku berharap kau tidak melakukan hal bodoh ini. Kau masih kuanggap sebagai temanku. Teman yang memang kuanggap sebagai saudara, teladan, bahkan tuhan. Aku takkan rela jika engkau mengakhiri hidupmu dengan seutas tali menggantung di leher mu. Aku bahkan tidak berharap kau membuat surat wasiat terakhirmu sebelum melakukan ini. Raih tanganku, teman. Lupakan ide bodohmu itu. Aku bantu kau untuk mendapatkan apa yang kau mau. Aku janji akan hal ini. Cepatlah, kawan. Waktu terus berjalan. Jangan buang waktumu serta waktuku juga. Cepat naik!"

Sudah 30 menit aku bicara dengan temanku. Temanku ini memang keras kepala dan selalu menjadikan tujuannya sebagai prioritasnya tanpa mendengar saran orang lain. Dengan cepat aku meraih tangannya dan merangkulnya. Lalu, kubawa dia menaiki mobil sedanku untuk kubawa berkeliling. Aku dan temanku tertawa bersama-sama saat mengingat kejadian yang baru saja kami alami. Sampai akhirnya matahari pun tenggelam dan aku membawa mobil ini tepat ke Jembatan Suramadu. Aku mengajaknya turun dari mobil untuk melihat indahnya jembatan ini pada malam hari.

Ku rangkul temanku,

Dengan hangat,

Dengan rasa pertemanan yang erat,













Aku mendorongnya dari jembatan itu sehingga ia terjatuh dan tewas tenggelam. Misiku selesai, membuat dia meraih apa yang ia inginkan. Tamat.

*Maafkan tentang postingan yang ngaret 5 hari ini. Dikarenakan sang penulis yang terlampau mager haha. See ya!

Komentar

  1. Walah ini juga bagus.
    Bagaimana ini, aku jadi bingung mana yang mau jadi project-1

    Kalau kamu pilih yang ini, coba kembangkan apa yang sekiranya ada dala pikiran temanmu itu? Mengaa dia memilih mengakhiri hidupnya?
    Hal-hal apa saja sih yang membuat seorang anak muda seperti mengalami kiamat?

    Kamu bisa nasihati temanmu itu panjang lebar tentang makan hidup, kamu kasih dia semangat, tapi dia tetap tidak mau.
    Artinya kekuatan cerita ini ada pada dialog yang cerdas antara kamu dan temanmu.




    Dan akhirnya kamu dorong dia dari jembatan. --- ini ending yang mengejutkan. I like it. Tapi please don't do it for real :-D

    BalasHapus

Posting Komentar